Sabtu, 01 Juni 2013

KURANGNYA PERHATIAN PEMERINTAH TERHADAP PENDIDIKAN

A.        Peran Pendidikan dalam Pembangunan  



Pendidikan mempunyai tugas menyiapkan sumber daya manusia unuk pembangunan. Derap langkah pembangunan selalu diupayakan seirama dengan tuntutan zaman. Perkembangan zaman selalu memunculkan persoalan-persoalan baru yang tidak pernah terpikirkan sebelumnya. Bab ini akan mengkaji mengenai permasalahan pokok pendidikan, dan saling keterkaitan antara pokok tersbut, faktor-faktor yang mempengaruhi perkembangannya dan masalah-masalah aktual beserta cara penanggulangannya.

Apa jadinya bila pembangunan di Indonesia tidak dibarengi dengan pembangunan di bidang pendidikan?. Walaupun pembangunan fisiknya baik, tetapi apa gunanya bila moral bangsa terpuruk. Jika hal tersebut terjadi, bidang ekonomi akan bermasalah, karena tiap orang akan korupsi. Sehingga lambat laun akan datang hari dimana negara dan bangsa ini hancur. Oleh karena itu, untuk pencegahannya, pendidikan harus dijadikan salah satu prioritas dalam pembangunan negeri ini.
 B.  Pemerintah dan Solusi Permasalahan Pendidikan

Mengenai masalah pedidikan, perhatian pemerintah kita masih terasa sangat minim. Ini tercermin dari beragamnya masalah pendidikan yang makin rumit. Kualitas siswa masih rendah, pengajar kurang profesional, biaya pendidikan yang mahal, bahkan aturan UU Pendidikan kacau. Dampak dari pendidikan yang buruk itu, negeri kita kedepannya makin terpuruk. Keterpurukan ini dapat juga akibat dari kecilnya rata-rata alokasi anggaran pendidikan baik di tingkat nasional, propinsi, maupun kota dan kabupaten.
Penyelesaian masalah pendidikan tidak semestinya dilakukan secara terpisah-pisah, tetapi harus ditempuh langkah atau tindakan yang sifatnya menyeluruh. Artinya, kita tidak hanya memperhatikan kepada kenaikkan anggaran saja. Sebab percuma saja, jika kualitas Sumber Daya Manusia dan mutu pendidikan di Indonesia masih rendah. Masalah penyelenggaraan Wajib Belajar Sembilan tahun sejatinya masih menjadi PR besar bagi kita. Kenyataan yang dapat kita lihat bahwa banyak di daerah-daerah pinggiran yang tidak memiliki sarana pendidikan yang memadai. Dengan terbengkalainya program wajib belajar sembilan tahun mengakibatkan anak-anak Indonesia masih banyak yang putus sekolah sebelum mereka menyelesaikan wajib belajar sembilan tahun. Dengan kondisi tersebut, bila tidak ada perubahan kebijakan yang signifikan, sulit bagi bangsa ini keluar dari masalah-masalah pendidikan yang ada, apalagi bertahan pada kompetisi di era global.
Kondisi ideal dalam bidang pendidikan di Indonesia adalah tiap anak bisa sekolah minimal hingga tingkat SMA tanpa membedakan status karena itulah hak mereka. Namun hal tersebut sangat sulit untuk direalisasikan pada saat ini. Oleh karena itu, setidaknya setiap orang memiliki kesempatan yang sama untuk mengenyam dunia pendidikan. Jika mencermati permasalahan di atas, terjadi sebuah ketidakadilan antara si kaya dan si miskin. Seolah sekolah hanya milik orang kaya saja sehingga orang yang kekurangan merasa minder untuk bersekolah dan bergaul dengan mereka. Ditambah lagi publikasi dari sekolah mengenai beasiswa sangatlah minim.
Sekolah-sekolah gratis di Indonesia seharusnya memiliki fasilitas yang memadai, staf pengajar yang berkompetensi, kurikulum yang tepat, dan memiliki sistem administrasi dan birokrasi yang baik dan tidak berbelit-belit. Akan tetapi, pada kenyataannya, sekolah-sekolah gratis adalah sekolah yang terdapat di daerah terpencil yang kumuh dan segala sesuatunya tidak dapat menunjang bangku persekolahan sehingga timbul pertanyaan ,”Benarkah sekolah tersebut gratis? Kalaupun iya, ya wajar karena sangat memprihatinkan.”
C. Penyelenggaraan Pendidikan yang Berkualitas
 
”Pendidikan bermutu itu mahal”. Kalimat ini sering muncul untuk menjustifikasi mahalnya biaya yang harus dikeluarkan masyarakat untuk mengenyam bangku pendidikan. Mahalnya biaya pendidikan dari Taman Kanak-Kanak (TK) hingga Perguruan Tinggi (PT) membuat masyarakat miskin tidak memiliki pilihan lain kecuali tidak bersekolah. Orang miskin tidak boleh sekolah.Untuk masuk TK dan SDN saja saat ini dibutuhkan biaya Rp 500.000, — sampai Rp 1.000.000. Bahkan ada yang memungut di atas Rp 1 juta. Masuk SLTP/SLTA bisa mencapai Rp 1 juta sampai Rp 5 juta.
Makin mahalnya biaya pendidikan sekarang ini tidak lepas dari kebijakan pemerintah yang menerapkan Manajemen Berbasis Sekolah (MBS). MBS di Indonesia pada realitanya lebih dimaknai sebagai upaya untuk melakukan mobilisasi dana. Karena itu, Komite Sekolah/Dewan Pendidikan yang merupakan organ MBS selalu disyaratkan adanya unsur pengusaha. Asumsinya, pengusaha memiliki akses atas modal yang lebih luas. Hasilnya, setelah Komite Sekolah terbentuk, segala pungutan uang kadang berkedok, “sesuai keputusan Komite Sekolah”.
Namun, pada tingkat implementasinya, ia tidak transparan, karena yang dipilih menjadi pengurus dan anggota Komite Sekolah adalah orang-orang dekat dengan Kepala Sekolah. Akibatnya, Komite Sekolah hanya menjadi legitimator kebijakan Kepala Sekolah, dan MBS pun hanya menjadi legitimasi dari pelepasan tanggung jawab negara terhadap permasalahan pendidikan rakyatnya.
Kondisi ini akan lebih buruk dengan adanya RUU tentang Badan Hukum Pendidikan (RUU BHP). Berubahnya status pendidikan dari milik publik ke bentuk Badan Hukum jelas memiliki konsekuensi ekonomis dan politis amat besar. Dengan perubahan status itu pemerintah secara mudah dapat melemparkan tanggung jawabnya atas pendidikan warganya kepada pemilik badan hukum yang sosoknya tidak jelas. Perguruan Tinggi Negeri pun berubah menjadi Badan Hukum Milik Negara (BHMN). Munculnya BHMN dan MBS adalah beberapa contoh kebijakan pendidikan yang kontroversial. BHMN sendiri berdampak pada melambungnya biaya pendidikan di beberapa Perguruan Tinggi favorit.

 D. Privatisasi dan Swastanisasi Sektor Pendidikan
 Privatisasi atau semakin melemahnya peran negara dalam sektor pelayanan publik tak lepas dari tekanan utang dan kebijakan untuk memastikan pembayaran utang. Utang luar negeri Indonesia sebesar 35-40 persen dari APBN setiap tahunnya merupakan faktor pendorong privatisasi pendidikan. Akibatnya, sektor yang menyerap pendanaan besar seperti pendidikan menjadi korban. Dana pendidikan terpotong hingga tinggal 8 persen (Kompas, 10/5/2005).
Dalam APBN 2005 hanya 5,82% yang dialokasikan untuk pendidikan. Bandingkan dengan dana untuk membayar hutang yang menguras 25% belanja dalam APBN (www.kau.or.id). Rencana Pemerintah memprivatisasi pendidikan dilegitimasi melalui sejumlah peraturan, seperti Undang-Undang Sistem Pendidikan Nasional, RUU Badan Hukum Pendidikan, Rancangan Peraturan Pemerintah (RPP) tentang Pendidikan Dasar dan Menengah, dan RPP tentang Wajib Belajar. Penguatan pada privatisasi pendidikan itu, misalnya, terlihat dalam Pasal 53 (1) UU No 20/2003 tentang Sistem Pendidikan Nasional (Sisdiknas). Dalam pasal itu disebutkan, penyelenggara dan/atau satuan pendidikan formal yang didirikan oleh Pemerintah atau masyarakat berbentuk badan hukum pendidikan.
Seperti halnya perusahaan, sekolah dibebaskan mencari modal untuk diinvestasikan dalam operasional pendidikan. Koordinator LSM Education Network for Justice (ENJ), Yanti Mukhtar (Republika, 10/5/2005) menilai bahwa dengan privatisasi pendidikan berarti Pemerintah telah melegitimasi komersialisasi pendidikan dengan menyerahkan tanggung jawab penyelenggaraan pendidikan ke pasar. Dengan begitu, nantinya sekolah memiliki otonomi untuk menentukan sendiri biaya penyelenggaraan pendidikan. Sekolah tentu saja akan mematok biaya setinggi-tingginya untuk meningkatkan dan mempertahankan mutu. Akibatnya, akses rakyat yang kurang mampu untuk menikmati pendidikan berkualitas akan terbatasi dan masyarakat semakin terkotak-kotak berdasarkan status sosial, antara yang kaya dan miskin.
Hal senada dituturkan pengamat ekonomi Revrisond Bawsir. Menurut dia, privatisasi pendidikan merupakan agenda kapitalisme global yang telah dirancang sejak lama oleh negara-negara donor lewat Bank Dunia. Melalui Rancangan Undang-Undang Badan Hukum Pendidikan (RUU BHP), pemerintah berencana memprivatisasi pendidikan. Semua satuan pendidikan kelak akan menjadi badan hukum pendidikan (BHP) yang wajib mencari sumber dananya sendiri. Hal ini berlaku untuk seluruh sekolah negeri, dari SD hingga perguruan tinggi.
Bagi masyarakat tertentu, beberapa PTN yang sekarang berubah status menjadi Badan Hukum Milik Negara (BHMN) itu menjadi momok. Jika alasannya bahwa pendidikan bermutu itu harus mahal, maka argumen ini hanya berlaku di Indonesia. Di Jerman, Perancis, Belanda, dan di beberapa negara berkembang lainnya, banyak perguruan tinggi yang bermutu namun biaya pendidikannya rendah. Bahkan beberapa negara ada yang menggratiskan biaya pendidikan.
Pendidikan berkualitas memang tidak mungkin murah, atau tepatnya, tidak harus murah atau gratis. Tetapi persoalannya siapa yang seharusnya membayarnya? Pemerintahlah sebenarnya yang berkewajiban untuk menjamin setiap warganya memperoleh pendidikan dan menjamin akses masyarakat bawah untuk mendapatkan pendidikan bermutu. Akan tetapi, kenyataannya Pemerintah justru ingin berkilah dari tanggung jawab. Padahal keterbatasan dana tidak dapat dijadikan alasan bagi Pemerintah untuk cuci tangan. 
 Perkembangan Pendidikan di Indonesia
Pendidikan adalah Suatu usaha untuk mewujudkan suatu suasana pembelajaran dan pengembangan diri baik secara fisik maupun non fisik yang dapat diterapkan dikehidupan berkeluarga,bermasyarakat,berbangsa dan bernegara.
Jenjang Pendidikan di Indonesia :
1. Pendidikan dasar
2.Pendidikan menengah
3. Pendidikan tinggi
Materi Pendidikan :
Materi Pendidikan harus disajikan memenuhi nilai-nilai hidup. nilai hidup meliputi nilai hidup baik dan nilai hidup jahat. penyajiannya tidak boleh pendidikan sifatnya memaksa terhadap anak didik, tetapi berikan kedua nilai hidup ini secara objektif ilmiah. dalam pendidikan yang ada di Indonesia tidak disajikan nilai hidup, sehingga bangsa Indonesia menjadi kacau balau seperti sekarang ini.
Jalur pendidikan adalah wahana yang dilalui peserta didik untuk mengembangkan potensi diri dalam suatu proses pendidikan yang sesuai dengan tujuan pendidikan.
Pendidikan terbagi atas:
1.Pendidikan nonformal meliputi pendidikan dasar, dan pendidikan lanjutan.Pendidikan dasar mencakup pendidikan keaksaraan dasar, keaksaraan fungsional, dan keaksaraan lanjutan paling banyak ditemukan dalam pendidikan usia dini (PAUD), Taman Pendidikan Al Quran (TPA), maupun Pendidikan Lanjut Usia. Pemberantasan Buta Aksara (PBA) serta program paket A (setara SD), paket B (setara B) adalah merupakan pendidikan dasar.Pendidikan lanjutan meliputi program paket C(setara SLA), kursus, pendidikan vokasi, latihan keterampilan lain baik dilaksanakan secara terogranisasi maupun tidak terorganisasi.Pendidikan Non Formal mengenal pula Pusat Kegiatan Belajar Masyarakat (PKBM) sebagai pangkalan program yang dapat berada di dalam satu kawasan setingkat atau lebih kecil dari kelurahan/desa. PKBM dalam istilah yang berlaku umum merupakan padanan dari Community Learning Center (CLC)yang menjadi bagian komponen dari Community Center.
2.Pendidikan informal adalah jalur pendidikan keluarga dan lingkungan berbentuk kegiatan belajar secara mandiri.
Ada dua faktor yang mempengaruhi kualitas pendidikan khususnya di Indonesia yaitu:
  • Faktor internal, meliputi jajaran dunia pendidikan baik itu Departemen Pendidikan Nasional, Dinas Pendidikan Daerah, dan juga sekolah yang berada di garis depan.Dalam hal ini,interfensi dari pihak-pihak yang terkait sangatlah dibutuhkan agar pendidikan senantiasa selalu terjaga dengan baik.
  • Faktor eksternal, adalah masyarakat pada umumnya.Dimana,masyarakat merupakan ikon pendidikan dan merupakan tujuan dari adanya pendidikan yaitu sebagai objek dari pendidikan.
Berbicara tentang pendidikan di Indonesia seolah tidak mengenal kata selesai. Disebabkan oleh Pertama, pesimisnya masyarakat atas kebijakan pemerintah. Kedua, terlalu bersemangatnya pemerintah untuk mengikuti cepatnya perkembangan pendidikan di belahan lain dunia ini. Bisa jadi pemerintah iri dengan gemerlapnya sistem pendidikan di negeri-negeri lain.
Semestinya kita bisa belajar banyak dari sejarah. Dulu, negeri ini dikenal produsen guru terbaik. Hingga pihak negeri tetangga kita, macam Malaysia, merasa perlu mengimpor tenaga pendidik dari bumi Khatulistiwa ini.
Akan tetapi, semua seolah tak lebih dari kenangan manis. Hasil survei terbaru, tahun 2005, menyebutkan Indonesia menduduki ranking 112. Jauh berada di bawah Malaysia dan Bangladesh. Hal itu menunjukkan kenyataan yang membuat kita mengelus dada. Kondisi Human Development Index (HDI) erat kaitannya dengan kualitas sumber daya manusia yang ada.
Polemik pendidikan di Indonesia selama ini berkutat pada persoalan dana, pengadaan infrastruktur, dan kurikulum bongkar pasang. Seharusnya perdebatan itu tak perlu dilakukan. Sebabnya sederhana saja, bahwa pengadaan ketiga hal itu mutlak menjadi tanggung jawab pemerintah. Tentu jika memang membutuhkan masukan dari pihak lain, misalnya pengusaha, pakar pendidikan, atau perwakilan masyarakat, hal itu sangat dimungkinkan.
Hal lain yang harus menjadi perhatian pemerintah adalah kondisi generasi muda sekarang. Survei dari lembaga survei di Jakarta yakni AC Nielsen Media menunjukkan bahwa 21 persen dan 34 persen masing masing untuk Fashion Forward dan Constant Hedonist. Keduanya mewakili golongan yang cuek dan asal ikut alur yang ada. Ironisnya, alur pendidikan yang diikuti justru kehilangan arah.
Mekanisme trial and error, bongkar pasang kurikulum, dan proses pendidikan yang gagal, adalah serangkaian lontaran yang muncul dari anggota masyarakat saat saya mengikuti Talkshow Generasi Muda dan Pendidikan yang digelar Suara Surabaya FM, Selasa (2/5) mulai pukul 21.00 WIB. Saya menangkap ada pesimisme, atau justru malah kebingungan.
Dalam hal ini, ada dua hal yang menjadi kunci solusi yakni konsistensi, dan komitmen. Konsistensi dalam hal penerapan kurikulum dan kebijakan terkait lainnya. Harus ada pembicaraan antara pembuat kebijakan dengan penyelenggara industri atau pihak pemakai produk pendidikan yakni para lulusan, dalam penyusunan kurikulum. Dengan demikian dua dunia tersebut akan terhubungkan oleh jembatan bernama kurikulum pendidikan. Dua dunia tersebut tidak lagi menjadi menara gading di tempatnya.
Komitmen dibutuhkan oleh semua pihak. Bahwa semua aspek turut bertanggung jawab pelaksanaan pendidikan di negeri ini. Pun dalam hal ini generasi muda. Meminjam istilah sahabat saya, generasi muda tidak boleh terus-menerus memposisikan diri sebagai korban. Saatnya semua pihak bergerak di tempat dan bidangnya masing-masing.
Momentum Hari Pendidikan Nasional kali ini sudah diawali pemerintah yang menunjukkan itikad baiknya. Hal itu terkait dengan diluncurkannya tiga pilar rencana strategis pembangunan pendidikan yang dilansir oleh media massa. Pertama, peningkatan dan penguatan akses pendidikan. Kedua, peningkatan relevansi dan daya saing mutu pendidikan. Ketiga, peningkatan tata kelola dan citra publik pengelola pendidikan.